DOSEN KILLER, HUMANIS ATAU TIDAK?


DOSEN KILLER, HUMANIS ATAU TIDAK?

Artikel oleh: Arum Novitasari


Saya mulai teringat di minggu pertama semester lima. Ya.... mata kuliah yang dirasa cukup menguras pikiran. Dengan bobot 3 sks, ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Seperti pada hari- hari sebelumnya, sudah jelas sebagai mahasiswa kalau tak rame ya... bukan mahasiswa namanya kan. Sebelumnya saya lanjutkan, saya minta maaf dulu ya.... pada dosen ini. Bukan maksud untuk apa- apa hanya sebagai kritik terhadap gaya pembelajaran di kelas. Pada awalnya sangat rame sekali dalam kelas itu, kurang lebih 50 mahasiswa lah jumlahnya. Meski sudah semester 5, tapi baru kali ini diajar oleh dosen tersebut. Kesan pertama sangat ramah dan mudah ditoleransi, tapi eh.... tapi.. ternyata. Uh........ bu dosennya killer abisss. Beberapa prolog disampaikan, sampai akhirnya dosen mulai bertanya.

            “ada yang tahu nggak apa arti dari inflasi?” kata bu dosen

Sama sekali tak ada yang menyaut, ya lumayan lupa si. Itu ada dalam mata kuliah makro ekonomi semester 3, cukup lama. Semua diam, sok nggak dengar gitu gelagatnya. Bu dosen mulai membuka daftar hadir yang terletak di atas meja. Wah.... bahaya.. dag..dig..dug..der.. rasanya. Satu nama pun dipanggil, dan mulai menjawab.

            “um...inflasi itu keadaan dimana harga- harga barang naik” kata seorang mahasiswa yang ditunjuk tersebut.

            “ya... apa lagi?” tanya Bu dosen

Mahasiswa tersebut, masih berfikir. Tapi kayaknya udah mentok dalam ruang itu saja dia tahu. Ya.... hampir sama dengan aku, meski sangat tertarik dengan ekonomi makro. Tapi karena materi itu jarang sekali ditanyakan atau dikembangkan dalam Prodi kami, itu menjadi kesulitan untuk mengingatnya. Lantas ibu dosen mulai berbicara.

            “kalian itu.... tadi saja waktu saya baru datang kalian pada rame nggak karu- karuan, giliran diberi pertanyaan malah diam pura- pura nggak mendengar” kata Bu dosen

Ya... awalnya saya pikir Bu dosen kan lagi hamil, makanya mungkin agak sedikit sensitif kalau sedang mengajar dalam kelas. Tapi itu langsung berubah setelah salah seorang teman sampingku berceletuk padaku.

            “ya.... emang kayak gitu dari dulu tu dosen, temenku pernah koq diajar. Emang gaknya nggak ketulungan” katanya

Bu dosen mulai kembali melihat ke arah mahawiswa, kali ini sikapnya lebih sinis. Sebenarnya dari tadi saya begitu memperhatikan tentang perangai dosen selama berbicara dalam kelas. Kali ini, dengan dua tangan dipinggangnya dosen mulai bicara.

            “kalian... masa inflasi saja tidak tahu? Makanya bukunya tuh dibaca. Itu juga yang dibelakang, laki- laki kok cerewet. Jadi males ngomong sama mahasiswa laki- laki” kata Bu dosen

Dalam sekeliling jelas saya lihat, semua muka yang awalnya berninar- binar jadi kering- kerontang, pucat bak pohon yang nggak pernah disirami. Uh.... dalam bayangan, pedes banget nih dosen. Tak cukup sampai itu, dosen mulai bicara lagi.

            “kemarin saya baru meluluskan semua kakak kelas kalian, jadi jangan bikin malu mereka karena kalian nggak bisa lulus semuanya” katanya

Wah....wah... itu ancaman yang cukup serius terhadap kelangsungan dunia perkuliahan mahasiswa nih. Akhirnya pengenalan kali itu ditutup dengan suasana yang mencekam, seolah-olah habis keluar dari pekuburan.(maaf buat bu dosen, ini hanya tulisan tidak ada maksud apa- apa, hanya sebagai pendukung tulisan saya)

Dosen killer, humanis atau tidak?

            Dosen Killer adalah sebuah sebutan untuk dosen atau pengajar yang galak. Dalam definisinya galak, mungkin cara mengajar yang kaku, keras dan berorintasi pada diri dosen tersebut (teacher center). Sebenarnya tidak hanya dosen killer, tapi semasa SMP dan SMA kita akan lebih familiar dengan sebutan guru killer. Dalam cara pembelajarannya seorang pengajar killer biasa menjadikan reward dan punishment sebagai cara ajar yang ampuh agar murid dan mahasiswa dapat lebih mengerti dan terpacu untuk suatu mata pelajaran ataupun mata kuliah. Tetapi perlu usaha yang keras untuk mendapat nilai yang tinggi seperti yang kita harapkan. Bahkan sepertinya akan sangat sulit direalisasikan mendapat nilai baik. Selain itu seorang pengajar killer akan sulit sekali untuk diajak berdialog. Dalam artian akan sulit dalam melobby untuk beberapa hal, karena terkadang dosen killer tidak mempedulikan apa yang diungkapkan oleh mahasiswa. Apalagi untuk mahasiswa yang benar- benar belum pernah mengenal si dosen tersebut.

            Banyak mahasiswa yang setuju dengan opini satu ini. Dosen killer akan banyak dengan aturan- aturan yang ia terapkan, atau lebih jelasnya tata aturan perkuliahan. Mulai dari harus bawa buku referensi saat perkuliahan, hp harus berada dalam tas, jangan tengak- tengok dan masih banyak lagi. Seakan- akan kita itu belajar layaknya robot dalam kelas. Kebanyakan mahasiswa hanya akan mengikuti aturan tersebut, ya.. memang hal itu jelas karena yang dapat memberi nilai hanya dosen yang bersangkutan tersebut. Hal ini akan menjadikan posisi seorang mahasiswa menjadi tertekan. Dari mulai perkuliahan sampai penutupan dan tugas- tugas yang dibebankan.

            Berbicara tentang dosen killer, tentunya akan berhubungan dengan teori belajar humanistik akan sangat bentrok dengan dosen killer. Ketika tidak membawa buku, mahasiswa akan disuruh keluar. Itu jelas melukai sifat humanis yang ada. Abraham Maslow mengatakan, pendekatan humanistik selalu memelihara kebebasan peserta didik ntuk tumbuh dan melindungi peserta didik dari tekanan keluarga dan masyarakat. Selain itu pendekatan humanistik dalam pendidikan akan memungkinkan peserta didik menjadi individu beraktualisasi diri. Selain itu humanistik berorientasi terhadap pentingnya perasaan  (important of feelings) dan bebas dari ancaman (freedom of threat). Hal ini bermakna sebuah kegiatan pembelajaran akan lebih efektif jika dilakukan dengan suasana yang bebas dari ancaman. Sebuah ancaman akan membuat peserta didik merasa gagal sebelumnya.

            Bahkan pendidikan yang berlangsung selama ini dipandang oelh para pakar humanistik sebagai sebuah hal yang tidak menghargai peserta didik, membuat peserta didik malu. Seperti contohnya seorang anak yang belum lancar dalam membaca, justru disuruh membaca dengan keras. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi psikologi peserta didik yang akan berimbas pula dengan hasil belajar yang didapat. Sebenarnya dalam pendidikan akan lebih bermakna ketika kedua sisi di dalamnya, yaitu pengajar dan peserta didik saling melengkapi. Dengan pembelajaran yang demokratis tanpa embel- embel punishment, dimana terjadi sinergi diantara kedua elemen tersebut. Menjadikan suasana yang nyaman untuk kedua elemen sehingga pembelajaran lebih bermakna.

Comments

Popular posts from this blog

TUGAS DAN WEWENANG ORGANISASI SPBU

DAFTAR SMP SE KABUPATEN KUDUS

CONTOH PENERAPAN METODOLOGI EKONOMETRIKA