Syekh Siti Jenar


Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar atau Lemah bang, Ali Hasan merupakan tokoh penyebar agama islam yang kontroversial dan terkenal di tanah Jawa, disamping ajaran wali songo. Syekh Siti Jenar sangat kontroversial karena ajaran-ajarannya yang dianggap bertolak belakang dengan mainstream ajaran islam yang dibawa oleh wali songo saat itu. Hingga tak mengherankan bila selama hidupnya Syekh Siti Jenar dikucilkan oleh keluarganya sendiri karena kesukaannya terhadap ilmu ghaib hingga mendapat hukuman mati karena ajaran islam yang diajarkannya dianggap sesat. 1
      Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling controversial adalah Manunggaling Kawula Gusti. Menurut dia, bahwa di dalam tubuh manusia itu terdapat ruh dari Tuhan sehingga manusia merasa dekat dengan Tuhannya. Ajaran ini dalam pemikirannya sesuai dengan ajaran Al-Quran (Shaad; 71-72). Sehingga apa yang diwajibkan seperti melakukan sholat, syahadat, puasa, dan lain-lain itu bukanlah hal yang wajib dan omong kosong belaka, karena apabila manusia telah mencapai taraf penyatuan dengan Tuhan, maka manusia itu bebas hukum tidak terbebani lagi dengan berbagai hukum dan aturan. Dengan manusia merasa dekat dan menyatu dengan Tuhan maka manusia makin menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milikNya, kita tidak mempunyai hak apapun selain menjaga apa yang menjadi miliknya di dunia ini. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menjaga kemakmuran bumi, dimana dia menyebutnya sebagai Hamamayu Hayuning Bawana, dimana seseorang dianggap muslim apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya bukannya menciptakan kerusakan di bumi. 2 Disamping itu, dengan adanya Tuhan di dalam dirinya, otomatis seorang dengan yang lain tidak akan saling menyakiti, karena apabila mereka menyakiti manusia itu, maka itu sama dengan dia juga menyakiti Tuhannya. Bagi Syekh, tidak penting untuk berdebat tentang ajaran agama mana yang paling benar, karena pada dasarnya kita semua yang beragama ini menyembah pada satu Yang Maha Esa yang sama hanya saja kita masing-masing ajaran menyebutnya secara berbeda-beda. Oleh sebab itulah, kita tidak boleh berdebat tentang ajaran agama siapa yang paling benar. Disamping itu, dia juga mendirikan perguruan, untuk mengajarkan prinsip-psinsip dalam menjalankan islam yang baik, salah satunya adalah menyucikan dirinya  sendiri dengan menjauhi kemewahan dan kesenangan duniawi (tasawuf). Selain dari pada itu, dalam pandangan Syekh Siti Jenar hidup manusia di dunia yang kita jalani tidak lebih dari sekedar kematian, sebaliknya kematian justru merupakan awal kehidupan yang lebih abadi. Akibatnya banyak dari pengikut dia lebih memilih untuk mati dan menempuh hidup abadi yang sebenarnya melalui kematian dengan berbagai cara, antara lain dengan bunuh diri atau memulai keributan di pasar yang membuat orang lain marah dan melempari mereka hingga mati. Oleh sebab itu, dia mengangap dunia yang indah dan damai serta harta kekayaan, dianggap sebgai godaan dalam kematian di dunia ini dan hidup yang abadi adalah hidup setelah menjalani kematian.3
      Biarpun pribadinya dianggap sesat oleh banyak orang karena ajarannya bertolak belakang dengan ajaran islam yang ada pada saat itu dan faktor-faktor lainnya, Syekh tetap masih percaya bahwa apa yang kita miliki didunia ini berasal dari Tuhan dan kita tidak punya hak apapun yang harus kita lakukan adalah dengan menjaga apa yang Dia titipkan pada kita dengan baik dan tanpa merusak bumi ini. Disamping itu, ajarannya pulalah yang mengingatkan kita untuk tidak saling berdebat tentang ajaran mana yang paling benar dan yang terpenting itu adalah untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bagi saya sebagai penulis, kalimat yang terakhir tadi cukup mewakili bahwasanya Syekh Siti Jenar itu adalah orang yang peduli  dan mau menjaga apa yang ada di bumi ini dan menurut saya itu adalah salah satu bentuk perdamaian dari seorang Syekh Siti Jenar.  

      Saya Lahir di Surakarta dengan latar belakang seluruh keluarga yang berbudaya Jawa.  Semenjak kecil, saya didik dengan budaya dan nilai-nilai jawa, dimana harus menghormati ayah dan ibu dengan segenap hati. Biarpun begitu, keluarga kami sangatlah liberal, dimana posisi ayah dan ibu berada di posisi yang sama, tidak ada yang harus dihormati lebih besar. Hal ini berbeda dengan budaya jawa, terutama di Solo,  dimana masih menganut budaya patriakhi. Budaya ini mengedepankan posisi Ayah (laki-laki ) harus dijunjung tinggi dan dihormati dan posisi Ibu (perempuan) hanyalah sebagai pelengkap saja. 

      Budaya Patriakhi inilah yang menurut saya menjadi salah satu alasan kaum feminis untuk merombak tatanan social masyarakat, dimana mereka menginginkan kedudukan wanita dan pria sejajar. Dalam budaya jawa, terdapat budaya patriakhi yang sangat menguntungkan posisi laki-laki, sedangkan wanita jawa haruslah selalu bersikap nrima ing pandum yang secara mendasar berarti menerima segala sesuatu tanpa perlawanan dan bantahan apapun. Saking tidak begitu paham tentang apa itu kekerasaan secara gamblang, mereka bahkan tidak menyadari bahwa ajaran yang ditanamkan oleh orangtua mereka bahwa setiap wanita (istri) harus patuh terhadap pria (suami) tersebut membuat mereka makin tidak berani mengatakan “tidak” pada suaminya. Yang nantinya, hal tersebut makin membuat dasar legitimasi bagi pihak laki-laki untuk melakukan tindakan superioritasnya, termasuk kekerasan terhadap kaum perempuan, di wilayah social, politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain.  Maka tak jarang, wanita jawa yang masih belum sadar dirinya sebenarnya, dalam kasus-kasus tertentu, menerima kekerasaan dari pihak laki-laki. 

      Kekerasan yang saya maksud disini, tidak hanya kekerasan fisik saja melainkan kekerasan dalam bentuk lain. Karena kekerasan itu adalah semua bentuk perilaku verbal maupun nonverbal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya (Nur Hayati, 2000). Dari data yang saya dapatkan dari internet, SPEK HAM (Solidaritas Perempuan Untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia) mengumpulkan data kekerasaan yang dialami perempuan di Surakarta, dimana pada tahun 2003-2004, Selama tahun tersebut SPEK-HAM Solo mencatat adanya 61 kasus yang terdiri dari 20 kasus perkosaan, 18 kasus pencabulan, 10 kasus penganiayaan, 7 kasus KDRT, 4 kasus pelecehan seksual dan 2 kasus inkar janji. Maret 2004 dalam lingkup Database Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilakukan bersama Mitra Perempuan, SPEK HAM mencatat pengaduan dan bantuan kasus baru sebanyak 25 perempuan dan anak-anak  yang mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Eks-Karesidenan  Surakarta (Solo, Boyolali, Klaten, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri). Dari data-data diatas, paling tidak dapat membuktikan bahwa tidak selama suatu budaya itu selalu benar dan patut untuk dilestarikan. Bagi saya, akan lebih baik bila mulai saat ini, anak-anak yang lahir dengan identitas orang jawa, untuk tahu bahwa orang tua mereka adalah orang tua yang patut untuk dihormati, tanpa membeda-bedakan siapa yang harus dijunjung lebih tinggi. 1

      Bukan hanya itu saja, dalam tatanan social masyarakat jawa juga dikenal dengan strata social yang membedakan  kedudukan kaum priyayi dengan kaum wong cilik. Jadi tidak hanya di budaya orang bali saja yang mengenal kasta social, di budaya saya pun terdapat hal yang serupa. Dalam penggunaan bahasa jawa, yang memiliki 3 tingkatan (Kromo inggil, kromo madya, ngoko), makin mempertajam perbedaan status social ini. Dimana bahasa kromo inggil dipake oleh golongan priyayi sedangkan ngoko dipake oleh masyarakat biasa (wong cilik). Pembedaan ini semakin ketara ketika sudah mulai merabah urusan kepemilikan dan perlakukan terhadap pembantu rumah tangga. Dalam budaya Jawa dikenal istilah Magersari dan Ngenger. Magersari adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di lahan milik priyayi kemudian juga bekerja pada Priyayi itu, sementara Ngenger adalah bekerja secara ikhlas dan tidak bayar kepada suatu rumah tangga orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi secara martabat, derajat dan pangkat dibanding dirinya. Dengan pembedaan kelas social ini, maka tak jarang para majikan menganggap dirinya golongan priyayi yang berhak atas apapun terhadap pembantunya (golongan priyayi) yang kemudian berkembang menjadi tindakan kekerasaan pada pembantunya. Profesi pembantu sendiri tidak pernah mendapat perhatian khusus, layaknya buruh yang memiliki asosiasi buruh yang mampu mengakomondasi kepentingan mereka. Oleh sebab itulah, tak ayal kekerasan pada pembantu pun tidak begitu mendapat perhatian yang serius.

      Oleh sebab itulah, tidak benar 100% orang-orang mengatakan bahwa budaya jawa itu penuh dengan kelemahlembutan dan halus. Karena didalamnya ternyata juga memiliki suatu budaya kekerasaan yang tidak ketara bahkan tidak disadari langsung oleh orang jawa sendiri.  Oleh sebab itu, dari semua contoh ritual diatas, saya ingin menekankan pada hidup berdampingan dengan rukun (peaceful coexsistency) satu sama lain. Semua yang diciptakan Tuhan itu memiliki derajat yang sama di mataNya, jadi bukanlah hak kita untuk saling membedakan satu sama lain, seperti yang dikatakan oleh Syekh Siti jenar.

Comments

Popular posts from this blog

TUGAS DAN WEWENANG ORGANISASI SPBU

DAFTAR SMP SE KABUPATEN KUDUS

Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)