Bahan Bakar Minyak


“ADEM PANAS YANG KATANYA BBM”
Artikel oleh: Arum Novitasari 
Tak bisa dipungkiri memang efek dari kata “BBM” Bahan Bakar Minyak bukan Blackberry Massagger ini sangat cetar membahana. Para pakar dan ahli debat tidak karuan karena masalah yang membosankan ini. Pemerintah sebagai instansi yang tertinggi dan pemegang keputusan tetap ngotot bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah jalan satu- satunya untuk menyelamatkan perekonomian bangsa Indonesia. Terlepas dari itu masyarakat tak mau ketinggalan, mahasiswa gembar- gembor kesana kemari yang katanya menyuarakan nasib rakyat Indonesia ini. Boleh dikatakan, bahwa pemerintah sudah sangat maksimal memberi subsidi BBM selama ini. Hingga akhirnya sampai titik defisit keuangan negara, pemerintah bingung. Katanya kuotanya jebol, kalau tak cepat ditangani bisa- bisa Indonesia terkena resesi berat. Ada benarnya juga, untuk negara sebesar Indonesia tak mungkin membiarkan kas negara defisit. Apa yang perlu dilakukan negara ini? Berhutang? Menjual obligasi? Demi mengademkan rakyatnya. Tentu bukan begitu aturan mainnya, setelah digodok berbulan- bulan yang awalnya hanya sekedar wacana kenaikan BBM akhirnya bulan Juni BBM resmi dinaikkan.
Tak lama itu masalah membabi buta mengancam pemerintah, demo, debat adu argumen terjadi dimana-mana. Di satu sisi pemerintah yakin ini adalah jalan terbaik, tapi bagi rakyat ini adalah tali rotan untuk mengantungnya. Sudah pasti terjadi kenaikan BBM menjadikan komoditas lainnya ikut naik habis- habisan. Belum ada pengumuman naik, seakan-akan rakyat sudah pada mati dulu karena takut harga komoditas pada naik. Tidak tahu apa ini sebenarnya. Diluar itu, mahasiswa dengan gagah berani lengkap persenjataannya siap bertarung dengan polisi yang menjadi pagar betis pemerintah yang katanya untuk membela kepentingan rakyat. Apa iya? Sebagai generasi muda, seharusnya bisa berpikir secara rasional. Mana yang harus dan tak harus dilakukan, bisa dipastikan mereka tahu bahwa pemerintah mengalami krisis keuangan karena subsidi BBM. Tapi tak bisakah mahasiswa sedikit saja mau mengakui segala keadaan yang terjadi di negerinya ini. Bayangkan Indonesia sebesar ini, dengan 33 Provinsi yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote. Sadarkan bahwa Indonesia ini lebih besar dari apa yang dibayangkan? Maukah mereka mengakui NKRI sebagai kesatuan terbesar? Jawabannya tentu ada dimasing- masing hati mereka.
Tapi tenang, pemerintah siap mengalihkan uang dari subsidi BBM dengan Kartu Jaminan Sosial (KJS) bukan begitu? Ada yang namanya BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Barang tentu itu menjadi itikad baik pemerintah untuk tetap memperhatikan masyarakatnya. Ya meskipun dalam pelaksanannya ada beberapa masalah tapi memang begitu adanya. Tidak ada program yang perfect di dunia ini, hal itu wajar dan sesuai hukum alam. Tentu golongan yang pertama kali menolak adalah mahasiswa, wajar karena mereka tak mendapatkannya. Untuk BLSM yang katanya akan diberikan hanya dalam 5 bulan saja kepada masyarakat kategori tidak mampu cukup mengesankan, tapi kesalahan- kesalahan yang banyak dimata yang katanya pengamat politik digunakan sebagai pencitraan yang berujung pada korupsi masal di pemerintahan. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.

            Sebuah alasan yang digunakan untuk saling tuduh menuduh siapa yang salah, lantas siapa yang akan menjaga negeri tercinta ini? Pemerintah kan? Generasi muda kah? Oposisi kah? Atau siapa pahlawannya? Seolah-olah tidak sadar bahwa selama ini negeri tercinta kami sudah lama menderita menanggung beban yang katanya rakyatnya.

Comments

Popular posts from this blog

TUGAS DAN WEWENANG ORGANISASI SPBU

“SURVEI PERILAKU SEKS BEBAS REMAJA DI WARNET”

Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)